Thursday, February 10, 2011

Kumpulan Puisi

Chairil Anwar

Derai-derai Cemara


cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949


























Chairil Anwar

Aku

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang’ kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Maret 1943



















Chairil Anwar

Senja di Pelabuhan Kecil

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap














Sutardji Calzoum Bachri


Perjalanan Kubur

Luka ngucap dalam badan
Kau telah membawaku ke atas karang ke atas gunung
Ke bintang-bintang
Lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku
untuk kuburmu alina

untuk kuburmu alina
aku menggaligali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungaisungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari membujuk bulan
teguk tangismu alina

sungai peri ke laut membawa kubur-kubur
laut pergi ke laut membawa kubur-kubur
awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur
hujan pergi akar ke pohon ke bunga-bunga
membawa kuburmu alina
























Sutardji Calzoum Bachri

Tanah Airmata

tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami

di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa kami
kami coba kuburkan dukalara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana

bumi memang tak sebatas pandang
dan daun luas menunggu
namun kalian tetap tak bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di airmata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa kemana pergi
menyerahlah pada kedalaman airmata kami












Sutardji Calzoum Bachri

Walau

Walau penyair besar
takkan sampai sebatas allah

dulu pernah kuminta tuhan
dalam diri
memang tak

kalu mati
mungkin matiku bagai batu tamatbagai pasir tamat
jiwa membumbung dalam baris sajak

tujuh puncak-membilang-bilang
nyeri hari mengucap-ucap
di butir pasir kutulis rindu-rindu

walau huruf habislah sudah
alifbataku sebelum sebatas allah

























Taufik Ismail

Membaca Tanda-Tanda

Ada sesuatu yang rasanya mulai lepas
dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari kita

Ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kita mulai merindukannya

Kita saksikan udara
abu-abu warnanya
Kita saksikan air danau
yang semakin surut jadinya
Burung-burung kecil
tak lagi berkicau pagi hari

Hutan kehilangan ranting
Ranting kehilangan daun
Daun kelihangan dahan
Dahan kehilangan hutan

Kita saksikan zat asam
didesak asam arang
dan karbon dioksid itu
menggilas paru-paru

Kita saksikan
Gunung membawa abu
Abu membawa batu
Batu membawa lindu
Lindu membawa longsor
Longsor membawa air
Air membawa banjir
Banjir membawa air
Air mata

Kita telah saksikan seribu tanda-tanda
Bisakah kita membaca tanda-tanda?

Allah kami
Kami telah membaca gempa
Kami telah disapu banjir
Kami telah dihalau api dan hama
Kami telah dihujani abu dan batu

Allah ampuni dosa-dosa kami

Beri kami kearifan membaca
Seribu tanda-tanda

Karena ada sesuatu yang rasanya
mulai lepas dari tangan
dan meluncur lewat sela-sela jari

Karena ada sesuatu yang mulanya
tak begitu jelas
tapi kini kami
mulai
merindukannya



























WS. Rendra
Kangen
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
Aku tungku tanpa api.

















Ahmadun Yosi Herfanda

Sembahyang Rumputan

aku, rumputan
tak pernah lupa sembahyang
- inna sholaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi Robbil ’alamin

topan melanda padang ilalang
tubuhku bergoyang-goyang
tapi tetap teguh dalam sembahyang
dan akarku yang mengurat di bumi
tak berhenti mengucap shalawat nabi

tebanglah aku
akan segera tumbuh sebagai rumput baru
bakarlah daun-daunku
aku bertunas melebihi dulu

aku, rumputan
kekasih Tuhan
di kota-kota disisihkan
alam memeliharaku subur di hutan
aku rumputan
tak lupa sembahyang:
-inna sholaati wa nusuki
wa mahyaaya wa mamaati
lillahi Robbil ’alamin

pada kambingdan kerbau
daun-daun muda kuberikan
pada bumi aka-akar kupertahankan
agar tidak kehilangan akar keberadaan

di bumi terendah akuberada
tapi zikirku bergema
di langit cakrawala:
- La illaha illallah
Muhammadar Rasullullah

aku rumputan
kekasih Tuhan
segala gerakku
dalah sembahyang
1986
Sapardi Djoko Damono
Selamat Pagi Indonesia
selamat pagi Indonesia, seekor burung mungil mengangguk
dan menyanyi kecil buatmu
aku pun sudah selesai, tinggal mengenakan sepatu
dan kemudian pergi untuk mewujudkan setiaku kepadamu
dalam kerja yang sederhana
bibirku tak bisa mengucapkan kata-kata yang sukar
dan tanganku terlalu kurus untuk mengacu terkepal
selalu kujumpai kau di wajah anak-anak sekolah,
di mata para perempuan yang sabar,
di telapak tangan yang membatu para pekerja jalanan,
kami telah bersahabat dengan kenyataan
untuk diam-diam mencintaimu
pada suatu hari tentu kukerjakan sesuatu
agar tak sia-sia kau melahirkanku
seekor ayam jantan menegak, dan menjeritkan salam padamu,
kubayangkan sehelai bendera berkibar disayapnya
aku pun bergi bekerja, menaklukkan kejemuan,
merubuhkan kesangsian,
dan menyusun batu demi batu ketabahan, benteng kemerdekaanmu
pada setiap matahari terbit, o anak jaman yang megah,
biarkan aku memandang ke timur untuk mengenangmu
wajah-wajah yang penuh anak-anak sekolah berkilat,
para perempuan menyalakan api,
dan di telapak tangan lelaki yang tabah
telah hancur kristal-kristal dusta, khianat dan pura-pura
selamat pagi, Indonesia, seekor burung kecil
memberi salam kepada si anak kecil
terasa benar, aku tak lain milikmu.









Ari Pahala Hutabarat

Warna Mata Langit

memandang langit
warnanya—
ada di dalam mataku

di dalam mataku
berkelebat rasa malu
dosa yang mendesah di balik pintu

tapi, sebilah pintu
tak pernah tegas menjelaskan
yang mana ruang teras atau ruang tamu

dulu, di ruang tamu itu
kita pernah berdebat
soal warna langit

warna langit, menurutku
bergantung masa lalu
yang ada dalam mataku











Subagio Sastrowardoyo
Manusia Pertama di Angkasa Luar
Beritakan kepada dunia
Bahwa aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Aku kini melayang di tengah ruang
Di mana tak berpisah malam dengan siang.
Hanya lautan yang hampa dilingkun cemerlang bintang.
Bumi telah tenggelam dan langit makin jauh mengawang.
Jagat begitu tenang. Tidak lapar
Hanya rindu kepada istri, kepada anak, kepada ibuku di rumah.
Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah.
Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu
Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota
Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat
Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari.
Aku teringat kepada bunga mawar dari Elisa
Yang terselip dalam surat yang membisikkan cintanya kepadaku
Yang mesra. Dia kini tentu berada di jendela
Dengan Alex dan Leo, --itu anak-anak berandal yang kucinta--
Memandangi langit dengan sia. Hendak menangkap
Sekelumit dari pesawatku, seleret dari
Perlawatanku di langit tak terberita.
Masihkah langit mendung di bumi seperti waktu
Kutinggalkan kemarin dulu?
Apa yang kucita-cita? Tak ada lagi cita-cita
Sebab semua telah terbang bersama kereta
ruang ke jagat tak berhuni. Berilah aku satu kata puisi
daripada seribu rumus ilmu yang penuh janji
yang menyebabkan aku terlontar kini jauh dari bumi
yang kukasih. Angkasa ini ini bisu. Angkasa ini sepi
Tetapi aku telah sampai pada tepi
Darimana aku tak mungkin lagi kembali.
Ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku
Dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang
Jagat begitu dalam, jagat begitu diam.
Aku makin jauh, makin jauh
Dari bumi yang kukasih. Hati makin sepi
Makin gemuruh.
Bunda,
Jangan membiarkan aku sendiri.

Acep Zamzam Noor

Sungai dan Muara

Kesepian telah meyakinkan kita
Bahwa setiap sudut bumi menyimpan sisi gelap
Yang berbeda. Dari getar tanganmu aku dapat meraba
Musim dingin tak pernah memadamkan matahari sepenuhnya
Sedang dari mataku kau melihat hujan segera menyusut
Lalu kita berpelukan seperti dua musim yang bertemu
Dalam kesepian yang sama. Kita menyalakan tungku di kamar
Sambil seluruh pakaian kepercayaan dan keyakinan kita
Menjadi asap yang memenuhi ruang dan waktu

Kita tak mengundang salju turun membasahi ranjang
Tapi detik-detik menggenang dari cucuran keringat kita
Kuraba setiap lekuk tubuhmu seperti meraba setiap sudut
Bola dunia. Aku tergelincir di belahan bumi yang landai
Atau terengah di belahan lain yang berbukit-bukit
Lalu kau sentuh kemarauku dengan tangan musim semimu
Hingga rumput-rumput menghijau di seluruh tubuhku
Dan kita berciuman seperti bertemunya sungai dan muara
Yang saling mengisi dan sekaligus melepaskan

1992

























Afrizal Malna

Mitos-Mitos Kecemasan

Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi
kenangan tersendiridi hati kami, yang akan kembali
membuat cerita, saat-saat kami kesepian. Kami telah
belajar membaca dan menulis di situ. Tetapi kami sering
mengalami kebutaan, saat merambah hari-hari gelap
gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang
menggetarkan tanah ini. Burung-burung berterbangan
memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling
kota.

Negeri kami menunggu hotel-hotek bergerak
membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing.
O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-
daerah yang tak dikenal, siapakah pengusaha besar yang
memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-
anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar,
membuat kota-kota baru sepanjang hari.

Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari
kecemasan menggenang. Seperti tak ada, yang bias
disapa lagi esok pagi.

1985













D. Zawawi Imron

Ibu

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering , daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air airmatamu, ibu, yang tetap lancer mengalir

bila aku merantau
sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutang padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
saat bunga kembang menyerbak bau sayang
ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
aku mengangguk meski kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempat kuberlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan
namamu, ibu, yang akan kusebut paling dahulu lantaran aku tahu
engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala
sesekali datang padaku
menyuruhku menulis langit biru
dengan sajakku

1966







Jamal D. Rahman

Di Dasar Rumput

bagaimana aku harus melabuhkan bisi-bisik daunan
di hatimu? dari gelombang ke gelombang aku terhempas
dan pingsan pada sebuah bukit. di gang-gang keperihan
kusimpan lautan kesepian

di dasar rumput itu kuhanyutkan suaramu
memangil-manggil sukmaku yang tak habis-habis merenungi
jejak burung-burung menghapus wajahmu pada cermin
yang retak. pantai bergerak ketika kutengadahi
gerimis bintang. di mimpimu, kuhaturkan
cermin yang retak itu!

bagaimana aku harus mengaduh kepadamu
di hutan gerimis. daun-daun menghentikan waktu
dan suara-suara hinggap di hutan itu
o dunia, kapan hijau matamu
harus kuterjemahkan, ke dalam gelombang yang diam

di dasar rumput, sekali lagi kuhanyutkan
suaramu, bersama bianglala dan airmata yang menguras
darahku

1989













Isbedi Stiawan ZS

Aku Tandai

aku tandai tahilalatmu dari dunia kanak-kanak
yang tak akan pernah terhapus bilangan. sampai hafal benar
aku pada lekuk dan gerakmu, seperti aku mengenal
tubuhku sendiri

dari akar dan batang rumputan yang pernah kita
petik dulu, kini telah pula jadi pohon:
menahan terik, menepis gerimis supaya tak sampai
menggores tanda di tubuhmu-tahilalat itu-yang
senantiasa kuingat dan jadi ciri ke mana kau merantau

tahilalat yang tumbuh dari dunia kanak-kanak itu
akan selalu kuingat, bahkan jadi bunga setiap kali aku tertidur
meski tak beraroma, akan kuhidupi pula lekuk dan
gerakmu dalam gerakku pula. lalu aku menari di antara
tanah yang subur bagi mekarnya perjalanan ini

ya. aku tandai tahilalatmu yang masih kukenang dari
dunia kanak-kanak kita. seperti sebuah album,
sebagaimana kita menyatu dalam rumah tangga
besar. lalu bercakap-cakap tentang terik dan gerimis
dalam hidangan di piring saat pagi dan petang

No comments:

Post a Comment