Thursday, February 10, 2011

Kumpulan Cerpen

Cerpen: Iswadi Pratama

Tas Ransel Biru, Dua Buku Tulis, dan Taman

1.
Tas ransel biru itu sudah diletakkanya di balik pintu. Itu kali pertama ia pergi sendiri, tanpa tasnya.
Saat kutanya mengapa? Ia bilang hanya ingin merasakan bahunya yang mulai sering kesemutan
jadi ringan dan dingin dihembus angin. Maka ia melepas juga kemeja yang tak pernah lengkap kancingnya lalu menyusuri jalan-jalan sepanjang kota. Sejak itu aku tak banyak tahu tentang dia.
Suatu hari, seorang anak menemukan ransel biru itu dan memamerkan pada teman-temanya
Seperti yang bisa kau duga; mereka membukanya dan menemukan dua buah buku tulis bergambar laut dan seseorang. Pada buku bergambar seseorang itu, seluruh halaman penuh catatan. Sedangkan pada buku bergambar lautan mereka hanya menemukan beberapa baris kalimat yang seperti keluhan dan mereka tak mengerti apa maknanya. Anak-anak itu cuma menduga; kalimat itu ditulis untuk bersedih dan seperti yang bisa kau duga. Mereka gunakan dua buku tulis itu untuk bergembira; membuat perahu, kapal terbang, topi pak tani, sebagian mereka bakar untuk membumihanguskan sarang semut di bawah pohon mangga tempat mereka bermain. Menjelang sore, mereka membuang tas ransel biru itu karena takut kalau-kalau pemiliknya menemukan mereka.
Maafkan aku, Cuma sampai di sini aku bisa menceritakan. Hei, mengapa kau menangis...? Apa...? Salah satu buku itu milikmu…?

2.
Ya. Buku bergambar laut itu milikku. Kami pernah berjanji untuk selalu menuliskan apa saja di buku yang kami beli bersama itu, lalu saling membacakanya setiap bertemu di taman ini. Tapi aku tak pernah bisa menuliskan apapun selain beberapa baris kalimat. Maka suatu hari, kutinggalkan saja buku itu di taman ini. Sejak itu aku tak pernah datang lagi. Aku memang sempat mendengar dari seorang teman, ia selalu datang dan membacakan catatanya. Ia telah menyimpanya sekian lama, dan kini ia tak bisa lagi.






Cerpen: Sapardi Joko Damono

Sungai
ku bersahabat dengan sebuah sungai. Sejak muncul di mata air gunung itu, ia sepertinya mengenalku dan tampaknya jatuh cinta padaku. Ia tidak bertepuk sebelah tangan. Tentu aku tidak tau mengapa. Pada hakekatnya ia baik meskipun perangainya suka berubah-ubah, itu menurut penilaian sementara orang. Ia menjalani hidup yang sukar. Begitu muncul dari mata air, ia harus mencari jalanya sendiri, meliuk-liuk, terus bergerak agar tetap dianggap sebagai sungai.
Kami selalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang ditempuhnya. Katakanlah, kesukaran hidupnya. Lereng gunung, hutan, daaerah yang terjal berbatu-batu, lembah yang tak terbayangkan luasnya-malah di beberapa tempat ia harus terjun beberapa ratus meter tingginya. Dan orang merayakanya.
Di musim hujan air tercurah dari langit sering tidak bisa ditampungnya. Bahkan ia yang berasal dari mata air gunung itu seolah lenyap begitu saja dalam banjir yang konon bisa menghanyutkan apa saja. Tetapi ia tidak pernah mengeluh dan oleh karenanya aku bahkan semakin mencintainya. Di dalam perjalanan hidupnya yang sukar itu aku senantiasa menemaninya. Aku diam-diam mencintai kelokan-kelokanya, yang jika dipandang dari atas seperti lukisan abstrak. Aku diam-diam mengagumi suara riciknya ketika ia bernyanyi menghindari bebatuan, disaksikan pohonan rindang yang tumbuh disepanjang tepinya. Apalagi jika kebetulan ada beberapa ekor burung yang berkicau di ranting-ranting pohonan itu. Aku, terutama sekali, suka diam-diam terpesona oleh gemuruh suaranya ketika ia harus terjun dari ketinggian ratusan meter-itu mengingatkanku pada beberapa penggal sampak dalam gending Jawa dan simponi Bethoven. Di beberapa tempat ia bahkan menggodaku untuk terjun ke airnya yang jernih dan tenang; ini adalah puncak cinta kita, katanya.
Singkat kata, kami senantiasa bersama-sama. Sampai pada suatu waktu kami harus menyeberangi sebuah padang pasir. Ia tampak bingung, gamang. Seperti putus asa. Bujukanku tak mempan; aku akan lenyap dan meninggalkanmu, katanya. Tidak kau akan menyusup di bawah samudra pasir itu dan tidak akan lenyap, kataku. Aku sendiri sebenarnya agak ragu-ragu dan cemas. Namun aku yakin bahwa cinta kami tidak akan terpisahkan, bahkan oleh padang pasir. Kami pun akhirnya tetap harus terpisah meskipun saling mencintai. Katanya ia akan menyusup di bawah samudra pasir itu sementara aku diharapkanya untuk terus melanjutkan perjalananku. Dalam perjalananku di bawah matahari yang terik, tanpa putus asa, agar bisa mencapainya jauh di bawah sana. Hanya dengan begitu ia akan muncrat ke atas dan menjelma genangan air kecil; itulah wujud cinta kami.
























Cerpen: Mario Levrero

Catatan-catatan dari Buenos Aires

31.01.86
ku membuka pintu. Tidak, tidak tepat begitu, maksudku pintu itu memang ada di sana. Aku di depanya. Aku di sisi ini, pintu itu di sana; pintu itu tertutup, maka aku buka pintu itu. Tapi, aku bermaksud bahwa pintu itu terkunci;aku tak punya kuncinya. Aku juga tidak menggunakan gagang pintu, karena kenyataanya bahwa pintu itu tertutup. Tertutup sama sekali. Aku tak membukanya tapi ia memang ada di sana;aku mendorongnya dan pintu itu bergerak. Tak cukup itu, aku mendorongnya lagi, sedikit lebih keras. Tapi aku tak melakukanya; aku juga tak mendorongnya. Aku membuka pintu, dan aku berdiri di sana, menunggu.
Duduk di sebuah bangku di taman aku melihat burung merpati; tidak murni, karena kau bisa melihat yang lainya; tapi maksudku aku berhasil mengemukakan pendapatku tentang merpati, sesuatu yang hingga kini membuatku secara samara-samar membuatku merasa gelisah. Seperti halnya tikus ditanggapi sebagai sesuatu yang buruk, aku menyimpulkan, merpati ditanggapi dengan baik, keduanya tak dapat digabungkan. Aku bisa mengamati seekor tikus yang terperangkap beberapa waktu lalu di halaman rumah, dan menurutku binatang itu adalah makhluk yang amat cerdas, nakal, lembut, dan bersahabat. Merpati disisi lain, bersifat konyol, serakah dan amat kacau dalam perkelaminan, senada dengan kenyataan bahwa mereka tidak memiliki kecerdasan dan perasaan. Membuatku heran kenapa orang-orang memberi mereka makan. Seluruh industri tumbuh di sekitar itu; di sini, di lapangan ini, ada beberapa orang menjual ”makanan merpati” (yang kenyataanya sangat mirip dengan jagung). Mereka menjualnya dalam paket-paket persegi kecil, dan kelihatan bahwa mereka memang mejualnya, sebab aku melihat mereka di sini setiap hari untuk waktu lama dan mereka belum menunjukkan tanda-tanda menginginkan perubahan karir.
Ada seorang anak yang berumur 13 atau 14 yang menjadi operator yang sukses. Dia merangkai sebuah benda dengan sepotong kayu di atasnya, dan kemudian turun untuk membuat menara mungil dengan kantong persegi; ia memulai dengan dua potong, di sudut kanan yang sebelumnya, dan yang lainya di atas dengan posisi yang sama dengan dua yang pertama, dan seterusnya; ia melakukanya dengan cepat dan terampil.
Bagaimanapun, aku membenci merpati-merpati yang terpelanting saat berjalan, serupa dengan ayam betina dan perempuan-perempuan gemuk; dan kesimpulan akhirku adalah aku merasa jijik pada merpati dan ayam betina, semacam karikatur tentang perempuan. Tapi jauh di dalam hatiku, sesuatu berbisik padaku bahwa yang paling karikatural adalah ekspresi inti seorang perempuan (sesuatu yang tak bisa kuterima). Itulah yang terjadi padaku






















Cerpen: Gabriel Garcia Marquez


Sepetong Kesunyian Bernama Cinta


Ia tak pernah berjalan jauh sebelumnya. Ia membawa kopor seng berisi pakaian, novel-novel bergambar yang ia beli setiap bulan dan buku-buku berisi puisi cinta yang ia kutip dari ingatan dan nyaris rusak karena terlalu sering dibaca. Ia tak membawa biola miliknya, karena benda itu membawa sial, tetapi ibunya selalu menyuruhnya membawa petat; sebuah tempat tidur gantung lipat dengan bantal, selimut dan kelambu yang terkemas rapi. Florentino Ariza tak ingin membawanya sebab menurutnya benda-benda itu tak akan berguna di sebuah kamar yang menyediakan peralatan tidur, tetapi sejak malam pertama ia punya alasan untuk bersyukur atas firasat ibunya. Pada saat terakhir sebelum keberangkatan, seorang penumpang memakai setelan malam naik ke atas kapal. Ia baru datang pagi itu dari sebuah kapal yang bertolak ke Eropa dan ditemani oleh gubernur. Orang itu ingin langsung melanjutkan perjalananya bersama istri dan putrinya, juga pelayan serta tujuh koper berwarna emas yang tampak terlalu berat untuk dibawa menaiki tangga. Untuk melayani penumpang tak terduga ini, kapten kapal, seorang lelaki bertubuh raksasa dari Curacao, menghimbau rasa patriotisme para penumpang. Dalam bahasa campuran Spanyol dan Curacao, ia menerangkan pada Florentino Ariza bahwa penumpang bersetelan malam itu adalah duta besar Inggris yang baru dan ia sedang menuju ibu kota republik. Ia menerangkan pada Florentino betapa kerajaan itu telah banyak membantu perjuangan kemerdekaan mereka melawan Spanyol dan sebagai balasanya tak ada pengorbanan yang lebih besar selain mengizinkan sebuah keluarga merasa lebih nyaman berada di negerinya sendiri. Florentino Ariza tentu saja merelakan kamarnya.
Pada mulanya ia tak menyesali hal itu karena air sungai begitu melimpah dan kapal pun melaju tanpa kesulitan pada dua malam pertama. Setelah makan malam pada jam lima sore, awak kapal membagikan tikar kanvas pada para penumpang dan masing-masing menggelar alat tidurnya di tempat yang kosong yang bisa mereka dapatkan. Florentino memasang petate dan kelambu untuk melindunginya dari nyamuk. Ia tidur di atas tempat tidur gantung itu, sementara mereka yang tidak membawa peralatan apapun tidur di atas meja ruang makan berselimut taplak meja yang tak diganti lebih dari dua kali perjalanan. Florentino Ariza terjaga nyaris sepanjang malam, merasa seolah-olah mendengar suara perempuan yang dicintainya, Fermina Daza. Hembusan angin sepoi-sepoi menghanyutkan kesunyianya bersama kenangan tentang perempuan itu. Mendengarnya bernyanyi di sela-sela deru suara kapal saat bergerak menyusuri kegelapan seperti sekor binatang raksasa hingga semburat jingga pertama muncul di cakrawala dan hari baru mekar di atas tanah gersang dan rawa-rawa berkabut. Perjalananya kembali menjadi sebuah bukti kearifan ibunya dan ia mencoba tabah melupakan semua rasa kecewanya.

















Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Menunggu


Di stasiun gambir aku menunggu. Bukan karena kereta terlambat datang. Hanya aku tak tau jam berapa Dewi akan tiba. Ia hanya mengatakan sore. Dan sore cukup panjang. Antara pukul setengah empat sampai pukul enam. Semuanya sore.
Aku sudah sampai di stasiun pukul tiga. Berarti sudah dua jam yang lalu. Orang-orang di stasiun mulai menganggapku bagian dari mereka. Dua kali aku membeli minuman. Tiga kali menanyakan kepada penjaga gerbang masuk dan petugas loket. Pukul berapa kereta akan tiba. Mereka selalu menanyakan, kereta yang mana. Karena aku tak bisa menjawab, mereka memberi nasehat supaya menunggu di lantai dua.
Di lantai dua, di tempat kereta datang dan pergi, terlalu banyak orang. Aku sudah sempat ke sana tapi di situ tak ada yang menyenangkan. Suasananya menekan karena semua orang menunggu. Bangku-bangku yang jumlahnya terlalu sedikit semuanya diduduki penumpang. Sebagian orang karena sudah capai duduk di lantai. Di situ tidak santai. Lagipula anginnya keras. Di bawah ini lebih aman. Aku merasa lebih betah.
Sudah hampir sepuluh kali aku bertegur sapa dengan kenalan-kenalan. Dengan sahabat-sahabat lama di Yogya dan Bali, yang melintas hendak pulang. Mereka menanyakan dan menceritakan banyak hal selintas. Tapi itu membuatku teringat masa lalu. Seperti membuka buku sejarah. Sungguh mengherankan aku membaca masa lalu hari itu.
Berdiri menunggu selama dua jam tiba-tiba menjadi pengembaraan spiritual. Waktu itu aku yakin bahwa menunggu bukanlah pekerjaan sia-sia. Menunggu berarti menanguhkan, menguraikan simpul. Memberi nafas baru kepada segala sesuatu yang mungkin tak sempat diawasi padahal sudah kusut. Menunggu bisa menjadi saat untuk melakukan penilaian pada diri sendiri. Sesuatu yang sudah sangat mahal untuk Jakarta yang identik dengan kesibukan.
Selama dua jam di stasiun Gambir sore itu, aku mendapatkan pengertian menunggu yang baru. Menanti tidak selamanya mubazir kalau bisa menjadi proses perenungan. Kesempatan melenturkan kembali urat-urat yang sudah terlalu tegang. Sebuah metabolisme yang penuh misteri. Sesuatu yang perlu disyukuri. Setiap orang memilikinya, tetapi mungkin tak semua berhasil menghayatinya.
Begitulah, aku menikmati menunggu sore itu.
Beberapa jam kemudian ketika Dewi tiba, aku sebenarnya tak mengumpat bahwa kau sudah menunggu terlalu lama. Tapi aku tak mampu menjelaskannya.
“ Sudah lama?” tanyanya pada nada sedikit minta maaf, “keretanya yang terlambat berangkat. Belum lagi menunggu kereta yang lain lewat di tengah perjalanan. Kamu kesel nunggu ya? Aku juga kesel sekali. Meski aku telepon lagi tadi. Si Tom janji telepon kamu, tapi mungkin kelupaan. Aku tak berhasil mendapatkan kereta siang. Ini yang terakhir sekali. Pakai berantem dulu, baru dapat. Habis dibilangnya tempat penuh semua. Setelah digosok sedikit baru dikasih. Payah juga mereka”.
Aku hanya mengangguk. Meski aku menjawab tidak. Aku tidak kesal. Menungu sore itu memberikan pencerahan. Menunggu sore itu terasa mendalam sekali. Namun kalau itu sampai aku katakan. Dewi pasti akan marah. Karena dia yang tidak menunggu saja kesal, apalagi yang menunggu, mestinya dua kali kesal.
“ Ya memang berengsek !” kataku kemudian memberikan gong memberikan ku nafas baru. Rasanya seperti mengalami peremajaan. Setelah melontar ke masa lalu, muncul ide-ide segar. Mungkin aku bisa cobakan lagi lain kali, untuk menunggu di stasiun. Karena menunggu sudah memberikan kesegaran baru.
“ Kamu kesel kan, ya?!”
Aku mengangguk.
“ Ya. Aku kesel sekali. Dalam lima jam banyak hal lain mestinya bisa ku lakukan. Aku sebel!”
Tiba-tiba Dewi melirik. Aku terkejut.
“ Kenapa? Apa yang aneh?”
Dewi menunjuk ke mataku
“ Kenapa mataku?”
“ Kamu capai tidak?”
“ Ya jelas capai. Lima jam menunggu!”
Tapi matamu mengatak tidak. Matamu begitu segar, kamu kelihatan senang. Cuci otak ya?”
Aku menjawab. Waktu itu aku sadar lagi. Setelah sepuluh tahun, pernikahan kami sudah membuatkan pengertian. Dia semakin tau seluk-belukku. Aku tidak mungkin berbohong.
Akhirnya dalam taksi pulang aku berterus-terang.
“Aku sudah melakukan perenungan tadi.”
“ Perenungan apa?”
“ Selama menunggu tadi, aku banyak berfikir.”
“ Melamun?”
Aku tak menjawab.
“ Melamunkan apa?”
“ Tentang arti kehidupan ini.”
Dewi mencemoh.
“ Ah Gelo!”
Aku tak membantah. Memang gelo. Lima jam menunggu tak mungkin bisa dianggap kenikmatan, kecuali memang sudah gelo. Lima jam melamun di stasiun bukan suatu yang lumrah. Pasti ada sesuatu yang salah. Belum tentu satu dari seribu orang yang setuju mengatakan lima jam menunggu itu membawa kebugaran baru, seperti aku.
Di rumah sepanjang malam, ketika mendapat kesempatan menyendiri. Semua itu aku pikirkan lagi. Aku ingat-ingat apa saja yang ku alami di stasiun siang itu, ketika sedang menunggu. Aneh sekali tak banyak. Itu lima jam paling singkat dalam hidupku. Karena aku hanya ingat dua hal. Selebihnya hanya nuansa-nuansa perasaan yang tidak ada kejadian.
Setidak-tidaknya hanya satu jam dari lima jam menunggu itu yang kusadari betul. Empat jam yang lain aku seperti kehilangan jejak. Dimana saja aku waktu itu? Kembali ke masa lalu? Atau terlontar kemasa depan? Atau tersesat kemana?
Tiba-tiba aku terkejut. Lalu berfikir keras. Sekarang ini, detik ini juga. Sementara aku masih terjaga sendirian. Ketika seluruh orang rumah terbenam tidur. Benarkah saat ini, hari ini. Benarkah ini aku, dengan zaman ku, waktu dan kehidupanku. Tak mungkinkah ini bagian dari lamunanku di suatu masa yang lalu. Atau yang dari masa yang akan datang. Atau bagian dari pikiran orang lain yang sedang menunggu.
Bukan tak mungkin aku hanya sebuah mimpi dari seorang lain yang sedang menunggu kereta di stasiun Gambir. Ketika kereta terlambat datang. Dan orang itu menunggu selama lima jam. Kareta tak ada yang harus dilakukan, ia hanya melamunkan hidup. Atau hanya isi pikirannya. Kalau waktu yang lima jam itu habis, ketika kereta datang, akupun selesai.
Aku termenung. Tak memperoleh jawaban. Mungkin juga tak mau ada jawaban. Aku berusaha menahan, agar tidak tersesat. Rasanya aku sudah mulai terganggu. Menunggu adalah peristiwa berputar yang menyesatkan. Kalau tidak awas, aku bisa lenyap di tikungan, memasuki sejarah yang tak kukenal.
Perlahan-lahan kubaringkan kepalaku, agar tidur. Tetapi mataku tak bisa terpejam. Aku melihat terus semuanya. Semuanya, sampai yang sekecil-kecilnya. Semuanya begitu lambat. Alangkah panjangnya malam ini. Malam terpanjang dalam hidupku.
Pagi hari aku terbangun.
Terpaku, kulihat disampingku bayi kecil lelaki. Ia menendang-nendangkan kakinya, tangannya seperti menggapai. Lalu tersenyum melihat kepadaku. Itu puteraku yang sudah ku tunggu selama sepuluh tahun.
Apakah ia bagian dari lamunanku. Atau aku bagian dari lamunannya? Atau kami berdua sebuah lamuan orang lain?
Aku menunggu.
Cerpen: Seno Gumira Ajidarma
Lelaki yang Terindah

Suatu ketika dalam hidupku yang begini-begini saja, aku menjumpai seorang lelaki yang terindah di dunia. Aku tak pernah bermimpi, betapa dalam hidupku yang tawar, hambar dan nyaris tanpa kejutan. Suatu ketika akan ku alami percintaan yang begini rupa. Aku memang tak pernah sedikit pun menyangka, di dunia ini ada seorang lelaki seperti dia, yang wajahnya begitu dan matanya bisa menatapku dengan sepenuh cinta.
Semua ini dimulai dari salon termahal di Jakarta ketika aku duduk di kursi itu, siap digunting dan menatap ke arah cermin. Kulihat dia siap menggarap rambutku yang basah, tapi kulambaikan tanganku untuk menolaknya.
“ Saya minta wanita,” kataku. Dan kulihat wajahnya dari cermin begitu kecewa.
Mestinya aku tak usah peduli tetang wajahnya yang begitu kecewa di cermin itu. Namun, kenyataannya tidak begitu. Aku tak pernah bisa mengerti kenapa wajah itu terus-menerus terbayang olehku. Sampai berhari-hari kemudian setelah peristiwa itu wajahnya masih terbayang dan setiap kali menyadarinya aku serasa mau muntah. Meskipun aku seorang lelaki, setiap kali aku terbayang wajahnya, semakin kusadari betapa cantiknya wajah itu dan betapa ia memandangku dengan penuh cinta.
Celaka. Aku merasa terganggu dan tak bisa tidur. Celaka. Aku merasa tersentuh dan terpesona. Celaka.
Debu cinta bertebaran. Ini seperti judul sebuah novel. Debu cinta bertebaran seperti virus─kurang sehat sedikit, kita pun jadi korban. Begitulah aku selalu, terbakar dari cinta yang satu ke cinta yang lain. Sampai hatiku jadi gosong, tak tahu lagi apa artinya cinta. Wanita memberikan segala keindahan yang dimilikinya demi cinta, sampai mereka tak punya apa-apa lagi. Toh, aku selalu mengagumi wanita. Aku tidak malu untuk mengakui, aku sangat mengagumi wanita karena kewanitaannya, apapun bentuknya. Apa boleh buat, Tuhan telah menciptakan wanita….
Tapi kini aku berurusan dengan lelaki. Seorang lelaki terindah di dunia. Telah beratus-ratus, bahkan beribu-ribu lelaki lewat di depan mataku, namun aku tak pernah berfikir untuk mempertimbangkan keindahannya. Tentu aku tahu, seorang lelaki bisa menjadi indah bagi seorang lelaki sekalipun. Namun aku tak pernah sekejap pun berfikir bahwa ada seorang lelaki di dunia ini yang akan menatapku dengan penuh cinta dan kecewa─seperti biasa kulihat pada wanita. Betapa sebuah pandangan bisa begitu menggoda.
“Dulu kenapa kamu memandangiku seperti itu?” tanyaku
“Aku tidak tahu, kenapa aku memandangku seperti ini. Hal seperti ini bahkan tak ku alami dengan pacarku. Apakah itu yang disebut jatuh cinta pada pandangan pertama?”
“Entahlah. Apa yang akan kau lakukan kalau aku tidak menolakmu?”
“Aku akan menggarapmu begitu kamu masuk, aku sudah tahu kelemahanmu. Akan ku elus-elus telingamu dan kamu akan memejamkan mata dan aku akan membungkuk dan berbisik dan mengatakan aku terangsang padamu.”
“Hah?”
“Aku juga mau bilang, aku akan memuaskan kamu. Apakah kamu masih menolak jika melakukannya?”
“Entahlah.”
“Yang jelas, aku tahu kamu akan terangsang seperti sekarang!”
Dan tangannya bergerak membuka ikat pinggangku.
Aku telah diseretnya ke dalam suatu petualangan di negeri antah-berantah. Keringat di tubuhnya yang tembaga, berkilat dalam cahaya malam, membuatnya seperti sebuah patung pualam. Pada malam yang sungguh jahanam itu, ia telusuri segenap lekuk tubuhku dan kutelusuri segenap lekuk tubuhnya. Begitulah aku digulungnya seperti gelombang laut yang menyapu daratan.
Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu perkasa, terampil dan penuh improvisasi. Setelah semuanya selesai, aku muntah-muntah.

***
Dari balik jendela sebuah restoran, kupandang Jakarta yang tenggelam dalam malam. Dari lantai 30 saja manusia sudah jadi kecil seperti itu, seperti tidak ada artinya. Bagaimana kalau memandangnya dari bulan? Ah, apakah hidup manusia harus ada artinya? Dari balik jendela restoran, aku memandang kehidupan yang fana─tidak kekal dan tidak abadi. Lantas, apakah artinya semua kerja keras itu? Masih adakah artinya segala ketegangan, pertarungan antara hidup dan mati itu?
Tapi, hidup di dunia ini barangkali juga sebuah liburan. Kehidupan yang abadi, bukankah itu sangat membosankan? Dari balik jendela restoran, sembari memandang Jakarta yang digerayangi malam, aku menyadari kesempatanku.
“Hidup itu Cuma mampir minum,” kata orang-orang tua.
“Baiklah, aku akan minum, lantas jalan-jalan sebentar, sebelum kembali ke alam kehidupan yang abadi dimana aku sebelum tahu bisa berbuat apa.
Dari balik jendela restoran, aku bertanya kepada Tuhan, apakah ada surga─atau neraka─ada bir?
Aku memang sedang minum bir. Barangkali kalau aku punya anak kelak, aku akan katakan kepadanya, “hidup itu Cuma mampir minum bir”. Barangkali akan kutambahkan lagi sebuah kaliamat, “karena itu bersyukurlah. Karena yang diminum sebentar itu bir, maka artinya hidup ini lumayan juga.”
Cerpen: Putu Wijaya

Kentut



Ketika semua orang sedang khusuk melaksanakan upacara, Jeki tiba-tiba kentut. Duuttt. Satu kali. Taka ada yang menghiraukan.
Tetapi kemudian tatkala menyusul babak kedua, prot, prot, prootttt. Semua orang tertegun, terganggu. Tetapi masih mencoba memaafkan. Meskipun baunya bukan main.
Begitu muncul tambakan yang ketiga, duutttt. Panjang dan keras. Semua orang meledak tertawa. Upacara itu berkeping-keping berantakan kehilangan bobot.
Seluruh mata mengepung Jeki sambil minggir dan menutup hidung. Lelaki yang kentut itu pucat pasi lalu menyembunyikan rasa bersalah dan malunya dengan tersenyum. Tapi rupanya itu belum semuanya.
Tiba-tiba Jeki nyemprot sekali lagi, meskipun kali ini hanya sundulan kecil yang rupanya adalah titik dari semua kentut Jeki. Cess..
Mendadak semua orang berhenti tertawa. Suara cess itu terdengar seperti sebuah penghinaan yang meremehkan. Tiba-tiba semua orang berbalik memandang Jeki dengan mata melotot, sebaliknya Jeki jadi geli, ia lantas tak menahan diri lalu tertawa terbahak-bahak. Upacara itu jadi becek.
Belum lagi rampung upacara, Jeki diseret ke samping ruangan. Ia dianggap dengan sengaja membuat keonaran, menghina dan mencoba untuk mengacaukan.
Ketika Jeki hendak membela diri mengatakan bahwa ia sudah mencoba mati-matian menahan gebrakan kentutnya itu, tak seorangpun percaya, ia bahkan disumpah-sumpah dengan kasar sekali. “Sumpah, kalau saja bisa masak Jeki lepas, baunya saja seperti habis makan bangke ayam, Jeki malu juga dong”. Kata Jeki, “Mungkin lantaran Jeki kebanyakan makan ubi jalar atau masuk angin karena terlambat makan, kalau tak percaya coba lihat, ini sampai terberak-berak di calana”. Jeki seperti handak membuka celananya. “Stop” teriak banyak orang serempak dan keras.
Ini dianggap sudah terlalu jauh, entah siapa yang mulai, langsung turun pukulan. Jeki tumbang. Begitu Jeki terjungkal yang lain menendang. Jeki terkejut. Ia langsung melompat berdiri dan hendak lari. Seseorang mengais kakinya, Jeki tersungkur kembali ke tanah. Tendangan yang lain menyusul, lalu satu lagi. Ampun-ampun. Lolong Jeki minta ampun. Tapi tak ada yang menghiraukan, malah gebukan semakin keras dan tambah bertubi-tubi. Akhirnya Jeki terpaksa melawan. Ini yang ditunggu-tunggu. Semua orang lalu serentak mendesak dan melanda Jeki dengan kepalan, tendangan dan juga hantaman kayu. Ketika Jeki tergeletak tak berdaya, semua orang diam-diam pergi.
Tubuh yang sempat kentut itu berlumuran darah dan cabik-cabik pakaianya.
Anak-anak kecil mengintip dari kejauhan, sedangkan orang-orang tua berbisik-bisik dan memalingkan mukanya seperti tak melihat. “apa salahnya orang kentut” kata ibu beberapa hari kemudian meminta pengertian semua orang. “Jeki tak bermaksud mengganggu atau menghina siapa-siapa, ia tak sengaja, ia memang sering kentut terutama kalau sedang masuk angin, tapi ia tak bermaksud apa-apa. Kalau kentutnya bau, mungkin karena sudah dua hari ini ia tak bisa ke belakang, jadi numpuk disitu. Semua kentut juga bau, mana ada kentut yang tidak bau. Mengapa Jeki diperlakukan semacam itu. Orang-orang lain juga pernah kentut seperti itu, mengapa tidak diapa-apakan. Mengapa hanya Jeki. Apa kesalahan Jeki. Apa kesalahan ibu sampai Jeki diperlakukan seperti ini, apa kesalahan Jeki sampai dihukum begini”.

Ayah Jeki juga ikut membuka mulut. “Saya minta maaf kalau Jeki sudah khilaf, melakukan perbuatan tak senonoh di depan umum. Tetapi anak itu memang masih belum cukup umur, walaupun badanya besar, dia bongsor.
Jiwanya masih jiwa kanak-kanak, ia tidak bermaksud apa-apa. Seperti anak-anak yang lain, ia menganggap semuanya hanya main-main. Kalau dia sudah dewasa dan sadar tindakanya itu menyinggung atau menyakitkan, pasti ia takan melakukanya.
Mengapa tidak ditegur saja baik-baik. Mengapa diselesaikan semacam ini. Ini bukan rimba. Kita punya tempat menghukum orang yang salah. Mengapa selalu, selalu saja kami yang diperlakukan seperti ini”.
Saudara Jeki juga tidak mau ketinggalan menggugat.
“Saya tahu, kami orang miskin. Kami tak memiliki andalan apa-apa. Kami hanya punya hati yang bersih untuk menjadi warga yang baik. Adik saya itu memang bukan warga yang baik, tapi dia juga bukan orang jahat. Pengedar narkotik dipasar burung yang banyak mentelantarkan orang lain itu jauh lebih jahat dari pada Jeki. Dia meracuni kita semua. Tapi ia tidak diapa-apakan. Anak pak lurah juga sering kentut kalau orang sembahyang. Bahkan waktu upacara tahun lalu dilapangan ia kentut keras sekali, semua orang mendengar, busuknya dua kali kentut adik saya ini. Tapi semua orang mengerti hanya menganggap itu lucu. Mengapa sekarang adik saya yang tidak sengaja kentut diperlakukan seperti ini. Ini tidak adil dong!”.
“ya, ini sama sekali kurang adil.” Tambah pacar Jeki “ saya tak mengerti sekarang, kalau memang semua orang berniat melakukan upacara itu, masak hanya karena kentut semuanya bisa gagal. Kalau memang mereka benar-benar khusuk melakukan upacara itu, mana mungkin mereka sempat mendengar suara kentut. Artinya pikiran mereka pun sebenarnya tak sempurna, tetapi mas Jeki yang dijadikan kambing hitam. Ini lucu. Gugatan-gugatan itu tak ada yang menjawab, mungkin karena tak jelas ditujukan kepada siapa. Tak jelas juga, siapa sebenarnya yang harus bertanggung-jawab. Tak ada yang tahu siapa sebenarnya yang telah membunuh Jeki.
Tak ada yang peduli. Tak ada yang bertanya-tanya.






Cerpen: Seno Gumira Adjidarma
Sebuah Pertanyaan untuk Cinta

Pada sebuah telepon umum, seorang wanita berbicara dengan gelisah.
“ Katakanlah sekali lagi, kamu cinta padaku”
Mendengar kalimat itu orang yang mengantre di belakangnya memberengut, sambil melihat arlojinya. Pengalaman menunjukkan, orang tidak bisa berbicara tentang cinta kurang dari 15 menit. Namun sungguh terlalu kalau wanita itu masih juga bertanya tentang cinta setelah 30 menit. Apalagi sudah ada beberapa berdatangan ke telepon umum itu, sambil sengaja mengecrek-gecrekkan koin di tangannya.
“Kamu benar-benar cinta padaku? Sampai kapan?”
Orang-orang mendengar kalimat itu dengan jelas. Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu memang terlihat berusaha menahan suaranya, tapi rupanya perasaanya berteriak lebih keras. Menjadi tidak penting baginya, apakah orang-orang itu mendengar atau tidak. Mereka toh tidak tahu siapa dirinya. Di kota besar seperti ini, kita tidak selalu bertemu orang yang sama di jalanan. Begitu juga di telepon umum.
“Kamu gombal, kamu juga mengatakan hal yang sama pada pacar-pacarmu.”
Wanita itu melirik ke arah orang-orang yang menunggu, kemudian melihat arlojinya, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa ia bukan tidak tahu tentang waktu yang dihabiskannya. Tapi, kemudian ia menyembunyikan wajahnya kedalam kotak kuning, berbicara pelan-pelan dan tersendat-sendat. Barangkali lelaki di sebelah sana itu memberikan jawaban yang kurang berkenan.
“ Aku cuma salah satu diantara mereka, aku cuma salah satu dari wanita-wanita itu, aku tidak ada artinya bagimu.”
Wajah wanita yang tadi gelisah itu kini nampak menderita. Matanya penuh cinta, tapi memancarkan rasa takut kehilangan
“ Ternyata kamu bohong, kamu tidak mencintaiku,” katanya
Para pengantre berdecak-decak gelisah. Mulut mereka memperdengarkan bunyi ‘ck’ yang sengaja dikeras-keraskan. Sebagian menggeser-geser dan menghentak-hentakkan sepatunya. Sebagian, untuk kesekian kalinya, melihat arloji. Sebagian lagi terus terang menggerutu.
“ Siang-siang panas begini bicara tentang cinta, seperti tidak ada waktu lain.”
“Terlalu.”
“ Sudah setengah jam.”
“ Kalau pergi ke telepon umum yang sana, sudah sampai dari tadi, tapi sekarang jadi tanggung!”
“Berapa lama lagi dia selesai?”
“Ini sudah setengah jam.”
“Paling lama sepuluh menit lagi, dia kan tahu dari tadi kita menunggu.”
“Saya cuma perlu menelepon setengah menit, penting sekali.”
“Saya juga cuma sebentar, tapi penting sekali.”
“ Saya harus segera telepon, sangat penting kalau tidak, saya bisa celaka.”
***
Kemudian, terdengar suara wanita itu, yang tanpa disadarinya sudah menjadi jauh lebih keras.
“Kamu ini bagaimana sih? Kamu kan tahu aku sayang padamu, aku selalu kangen padamu. Aku cinta sekali padamu, kamu jangan gitu dong!”
Wanita itu memasukkan koin lagi, dua sekaligus. Artinya percakapan masih akan berlangsung, setidaknya 12 menit lagi. Kalau setelah itu masih juga berbicara, sungguh-sungguh keterlaluan, karena pengantre yang paling dekat dengannya sudah menunggu selama 42 menit. Sebagian orang yang datang belakangan sudah pergi. Mereka bisa memperkirakan waktu yang lama melihat banyaknya para penunggu. Namun, yang sudah terlanjur menunggu lama agaknya merasa rugi jika pergi. Mereka masih menunggu dengan wajah yang disabar-sabarkan.
“Aku ingin yakin bahwa kamu memang cinta padaku. Aku harus yakin kamu memang cinta, kamu memang sayang, kamu memang selalu memikirkan aku. Apakah kamu selalu memikirkan aku? Katakan padaku kamu cinta, cinta, cinta…”
Apakah yang dikatakan lelaki di telepon sebelah sana? Wanita yang menelepon dengan wajah gelisah itu kini tersenyum untuk pertama kalinya. Pasti yang disebut cinta itu ajaib sekali, karena bisa menelusuri kabel telepon dan mengubah wajah seorang wanita yang tadinya gelisah menjadi bahagia. Menjadi cantik, dan menyegarkan, meski di siang panas terik yang melelehkan aspal jalanan. Mata wanita itu berbinar-binar, bagaikan mata kanak-kanak di sebuah dunia fantasi.
Pemandangan ini agak melegakan pengantre. Pasangan yang bercinta di telepon biasa memutuskan percakapan mereka pada saat-saat terbaik. Mata wanita itu menunjukkan kebahagiaan. Pada saat seperti itu ia bisa berpisah di telepon dengan senang, dengan perasaan seolah-olah dunia sudah menjadi miliknya. Tinggal sebentar lagi, pikir orang-oraang yang menunggu itu, sambil lagi melihat arlojinya.
“Satu koin lagi, ya? Ngomong cinta lagi, dong.”
Meluncur satu koin lagi. Berarti enam menit lagi. Orang-orang mengerutkan dahi. Alangkah memabukannya cinta yang bergelora. Tapi, sudahlah, enam menit bukan waktu yang lama.
“Kamu masih akan mencintaiku, kalau aku sudah tua?”
“Kamu masih akan mencintaiku, meskipun seorang wanita cantik merayumu?”
“Benarkah cuma aku seorang di dunia yang ada di dalam hatimu?”
“Masih cintakah kamu pada istrimu?”
***
Semua orang menoleh. Wajah wanita itu sudah gelisah lagi.
“ Masih cintakah kamu pada istrimu?”
Meluncur lagi satu koin.
“Gila! Hampir satu jam!” Seseorang berteriak dengan marah.
“He! Mbak! Ini telepon umum! Gantian, dong.”
Pengantre yang paling lama mendekatkan kepalanya ke kotak kuning, sengaja memperlihatkan dirinya di depan mata wanita itu, sambil mengetuk-ngetukkan koinnya dari luar kotak. Wanita itu berkata pada yang diteleponnya.
“Sebentar, sebentar.”
Lantas ia mendekapkan telepon itu ke dadanya, dan berkata pada pengantre yang paling dekat dengannya.
“Maaf, sebentar lagi, ya, Pak? Sebentaaar saja.”
Kemudian, ia menolehkan kepalanya ke arah lain. Berbicara setengah berbisik, maunya, karena yang terjadi adalah ia berteriak tertahan
“Katakan yang jelas, apakah kamu masih mencintainya?”
Angin berhembus. Mega menutupi matahari. Langit mendung.
Orang-orang yang menunggu hanya melihat wanita itu mengeluarkan tissue dari tasnya, dan mulai mengeluarkan ingus. Matanya basah.
“Kamu masih tidur dengan dia?”
Orang yang berada di dekatnya menjauh. Mencari tempat untuk duduk. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, selain menunggu. Angin makin kencang berhembus. Daun-daun berguguran.
“Kamu kok bisa sih? Kamu tega sekali padaku. Sebetulnya kamu tidak mencintai aku.”
Seseorang pura-pura batuk, mengingatkan, tapi wanita itu sudah tidak peduli. Ia meluncurkan lagi satu koin.
“Apa sih artinya aku buat kamu? Apa sih artinya aku?”
Wanita itu membuang tissue ke bawah, dan mengambil lagi tissue yang lain. Sambil menjepit telepon dengan kepalanya, ia mendenguskan ingusnya. Tiada yang lebih sendu selain wanita yang menangis karena cinta.
“Jadi, kamu bisa mencintai lebih dari satu orang? Kamu bisa mencintai dua orang sekaligus?”
Ia seorang wanita yang cantik, menarik, dan indah. Wajahnya gelisah dan sendu, tapi ini membuatnya semakin lama semakin indah. Apakah cinta yang membuat seorang wanita menjadi indah? Mungkinkah seorang wanita menjadi indah tanpa cinta? Apakah artinya cinta bagi seorang wanita?
“Jadi, apa arti hubungan kita? Apa artinya?”
Debu cinta bertebaran. Suatu ketika di suatu tempat, entah kapan dan dimana, seseorang bisa saja saling jatuh cinta seseorang dengan yang lain. Ah, ah, ah,__lelaki macam apakah kiranya yang berada di seberang telepon itu, yang telah membuat seorang wanita yang indah menjadi gelisah?
Apa sih artinya cinta untukmu? Coba jelaskan padaku, apa sih artinya cinta?”
Jeglek! Tuuuuuttttt….
Koinnya habis. Hubungan pun terputus. Wanita itu tertegun. Ia merogoh dompetnya. Tak ada lagi koin disana. Ia banting gagang telepon itu dengan kesal.
Pengantre yang sejak tadi menunggu segera menyerobot dengan setengah paksa. Pengantre yang lain pun mendekat dengan wajah mengancam. Semua orang punya keperluan penting. Tak seorang pun peduli dengan wanita itu, yang setelah menukarkan uang kertasnya dengan setumpuk koin di kios rokok, segera ikut menunggu kembali, meskipun kini hujan turun dengan deras.
Wanita indah yang wajahnya gelisah itu tidak lari berteduh—ia tetap menunggu, sampai basah kuyup. Ia juga punya keperluan penting. Ia masih menyimpan sebuah pertanyan untuk cinta.






















Cerpen: Seno Gumira Adjidarma

Sepotong Senja untuk Pacarku


Alina tercinta,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja dengan angin, debur ombak, matahari terbenam dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap? Seperti setiap senja disetiap pantai. Tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, …………………………………………………………………..
Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu warna-warni dengan bias cahaya cemerlang yang berkeratap dan pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang mungkin kulakukan bersamamu.
Meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan bisa menjadi kenyataan.
Kukirimkan sepotong senja itu untukmu Alina, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan padamu yang lebih dari sekedar kata-kata. Sudah terlalu banyak kata-kata di dunia ini Alina, dan kata-kata ternyata tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudyaan manusia Alina. Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagipula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa pernah mendengar kata-kata orang lain. Mereka berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kehilangan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi.
Kukirimkan sepotong senja padamu Alina, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit yang kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.
Alina yang manis, Alina yang sendu.
Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.
Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku di tepi pantai, di tepi bumi semesta adalah sapuan warna keemasan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit berwarna ungu dan anginya tetap saja lembab dan basah dan pasir tetap saja hangat ketika kususupkan kakiku ke dalamnya.
Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar. Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu. Barangkali senja itu bagus untukmu, pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi dan kumasukkan kedalam saku. Dengan begitu keindahan bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.
Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena aku tau, itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai dimana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit, sambil berangan-angan, sambil bertanya-tanya, apakah semua ini memang benar-benar terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa kemana-mana.
Ketika aku meninggalkan pantai itu kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.
Alina sayang.
Semua ini telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika diantara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk kearahku.
“Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!”
Kulihat orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.
“Catat nomornya! Catat nomornya!”
Aku melejit ke jalan raya. Ku kebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu Alina. Tak seorangpun yang boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar dalam sakuku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja itu tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu menembus segenap celah dalam mobilku, sehingga mobilku meluncur dengan nyala benderang ke aspal maupun ke angkasa.
Dari radio yang kusetel aku tahu berita tentang hilangnya senja telah tersebar kemana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh, baru kehilangan satu senja saja sudah panik seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Bagaimana kalau setiap orang mengambil senja untuk pacarnya masing-masing? Barangkali sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko, dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi secara besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.”Senja! senja! Cuma seribu tiga!”
Di jalan tol mobilku melaju masuk kota. Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung dimana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagipula dikota tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak perduli pagi, siang, sore, atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang ku bawa ini dicari-cari polisi.
Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.
”Pengemudi mobil Porche abu-abu metalik nomor Sg 19658 A harap berhenti. Ini polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tidak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan…..
Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kulibas dia sampai terpental keluar pagar di tepi jalan. Ku tancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu yang singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru. Tapi, aku lebih tahu, seluk beluk kota, jalanan yang bermain dengan cahaya warna-warni, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang bawah tanah.
Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar. Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku dan serulah keja-kejaran beberapa lama. Mereka kehabisan bensin, dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit…. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan Alina.









Cerpen: Putu Wijaya
Kartini

bu saya bukan seorang ”Kartini”. Ia wanita biasa yang dijajah oleh suaminya. Dia tidak memiliki kebebasan apalagi karir. Tempatnya di dapur dan di belakang rumah. Dalam berbagai persoalan ia mengalah. Apa kata suaminya, ayah saya, tak berani ia bantah. Karena membantah langsung berarti perbuatan durhaka. Ia mencabut seluruh hak-haknya dan menyerahkan semuanya pada suaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki biasa. Yang menerima ajaran dari generasinya bahwa wanita adalah makhluk lemah yang berkewajiban melayani dan merawat lelaki. Ia sudah diajarkan bahwa lelaki lebih utama dari wanita. Apa yang terjadi pada istrinya, ibu saya, dianggapnya sesuatu yang biasa. Begitulah umumnya wanita, begitulah seharusnya seorang istri. Mereka tidak boleh menonjol. Tidak boleh lebih penting dari suaminya. Ayah saya tidak pernah merasa bahwa istrinya, ibu saya, mendapat perlakuan yang tidak senonoh.
Sebagai seorang anak, yang paham arti emansipasi. Yang mendukung wanita tidak kurang hormatnya dari lelaki. Sebagai generasi baru yang belajar banyak dari tidakan-tindakan Raden Ajeng Kartini untuk memperjuangkan wanita. Sebagai seorang penerus yang bergaul luas diluar lingkungan adat, saya merasa tertantang. Saya merasa mendapat kewajiban untuk membenarkan duduk persoalan yang tak jelas itu.
Saya datang pada ayah, saya katakan bahwa ia telah melakukan dosa besar. Karena ia telah memperlakukan istrinya semena-mena. Harusnya ia duduk sama tinggi dan sama rendah dengan istrinya. Ia tidsak bisa memerintah saja. Ia juga harus bertanya dan meladeni dan kalau perlu membiarkan istrinya yang memerintah. Karena kalau tidak berarti ia telah melakukan perkosaan hak asazi. Melakukan pemasungan yang keji.
Ayah saya terkejut. Seperti seorang terdakwa ia langsung memberikan pembelaan. Katanya hal itu sudah berlangsung sejak awal. Ibu saya, tidak pernah protes dengan keadaan sekarang. Dan ia, ayah saya, tak pernah merasa melakukan perkosaan terhadap hak-hak ibu. Karena ibu memang tidak pernah menuntut apa-apa. Itu konsep harmoni dan pembagian kerja secara tradisional. Wanita membereskan urusan belakang rumah dan lelaki menggarap depan rumah. Jadi kamu, kata ayah saya, sudah salah kaprah. Karena nyatanya ibu kamu itu prakteknya bahagia.
Saya bertambah yakin lagi bahwa ayah saya telah melakukan penindasan terhadap kaum wanita. Ia sudah memperalat ibu saya yang pendiam dan tidak banyak cingcong itu dengan semena-mena. Ibu saya memang tidak tahu nilai kebahagiaan, sebab ia tidak pernah diajarkan menilai. Ia selalu diberi untuk menerima dan nyukuri apa adanya. Keadaan seperti itu tidak bisa didiamkan selama-lamanya. Ia belum banyak melihat bandingan, bagaimana ia tahu betapa rawan keadaanya sekarang. Saya harus bertindak. Kaum wanita harus bangkit. Tidak hanya yang muda. Yang sudah tuapun harus bangkit.
Kemudian saya datangi ibu. Saya mengatakan kepada dirinya bahwa ia sudah membiarkan dirinya dalam keadaan yang tidak berdaya. Saya pancing agar dia garang, melihat hak-haknya yang dilangkahi semena-mena oleh ayah. Ia punya setengah suara di dalam hidup pernikahan. Suminya, ayah saya, tidak bisa dibiarkan menginjak-injak haknya. Setiap saat ia bisa berkata tidak. Setiap saat ia bisa menuntut untuk melaksanakan apa yang dirasakanya baik. Ia harus menyadari hak-haknya, itulah kewajibanya yang paling utama. Bukanya menyerahkan dan melupakan hak-haknya.
Ibu saya tercengang. Ia menatap kegarangan saya dengan takjub. Baginya saya sudah termasuk racun di luar rumah, sehingga pikiran saya tidak tenang. Kemudian sebaliknya dari melaksanakan dari yang saya himbau, ia justru berusaha merawat saya. Saya dianggapnya sakit. Kaki saya dipijatnya. Kening saya diurut dengan minyak kayu putih. Persis sebagaimana kalo bapak saya sakit. Saya jadi menangis pilu di dalam hati. Sudah sedemikian dalamkah jiwa budak itu menusuk ke dalam hati ibu saya.
Dengan kasar saya tolak kelakuan itu. Saya bukan anak kecil. Saya bukan tipe lelaki yang ingin memperalat wanita. Mereka harus benar-benar menjadi ratu di dalam rumah tangga. Ibu harus punya hak, suara dan pengaruh dalam mengambil berbagai langkah penting di dalam rumah tangga. Ia tidak boleh menjadi warganegara kelas dua di dalam rumah. Ia harus menjadi seorang Kartini.
Hampir saja saya hendak menyampaikan uneg-uneg panjang. Agar wanita yang malang itu segera sadar pada dirinya. Bahwa ia tidak hanya berhak, tetapi juga mempunyai kewajiban untuk membebaskan dirinya dari perlakuan tidak senonoh itu. Bukan saja karena ia ibu saya. Tetapi demi masa depan wanita-wanita Indonesia yang lain. Revolusi wanita yang sudah dikobarkan oleh Raden Ajeng Kartini, harus diteruskan ke dalam diri wanita Indonesia.
Tetapi kemudian, ibu saya memberi isyarat agar saya jangan berkoar dulu. Lalu ia berkata lirih. Suaranya samasekali tidak mengandung emosi. Mendatar saja. Suara itu samasekali tidak menunjukkan nada seakan-seakan ia minta lebih diperhatikan dari suara lain. Suara ibu saya yang biasa saya dengar dalam percakapan sehari-hari, seperti ketika ia memberitahu pembantu bagaimana caranya mengiris bawang.
”Anakku, aku tidak tau siapa itu kartini, tetapi karena kamu sebut-sebut terus, tentulah dia orang pintar, orang yang berjasa, orang yang pantas diteladani. Ibu percaya pada kamu. Tetapi coba kamu lihat ayahmu itu. Tak tampaklah olehmu betapa lemahnya dia, tak punya kekuatan apa-apa. Hanya tubuhnya saja yang berotot, tetapi jiwanya keropos. Kalau aku jadi Kartini, barangkali dari dulu ia sudah tak sanggup bertahan.”
Saya tertegun. Bingung. Tiba-tiba saya merasa berhadapan langsung dengan Kartini.

5 comments:

  1. Exact same time of day payments loans are a sort of pay day
    loans made available on a week phase during sudden instances.
    That they don’t will need this proof situations’ emergency, neither of the
    two they might require surety, credit history none other things.

    You might prepare a secondary, a lot of significant products and services
    or simply include your organization prices – Equal daytime fitting up lending options will allow you
    in a cases. In these days most of these personal loans can be bought web based.


    Here is my web blog: pożyczka na dowód

    ReplyDelete
  2. Same exact afternoon fitting up financial loans can be a make
    of payday cash loans granted for just a week timeframe with unexpected events.
    They will don’t require any proof of situations’ crisis, nor they require
    surety, credit standing nor other stuff. Perhaps you may arrange a vacation,
    a number of important expenses or handle your home business bills – Exact
    same time payments loans will let in a circumstances.
    Currently all these lending products can be purchased on the
    web.

    Also visit my web site: pożyczka bez bik

    ReplyDelete
  3. Same exact daytime fitting lending products
    are actually a kind of cash advances made available for
    any four weeks time period inside urgent situation instances.
    These people don’t call for all the proof of situations’ disaster, nor they desire
    surety, credit history not other stuff. You may arrange a holiday,
    several vital products or maybe even go over your internet business expenditures – Equivalent time of day
    fitting loans will let you in different events.
    Currently these kinds of loans are available web based.

    Also visit my page: kredyty chwilówki

    ReplyDelete
  4. In гegaгds to fаctoring, уou
    will diѕcovеr a thought оut chaгgeѕ anԁ
    thеn thе unuѕual οbligаtions that
    will crunch ωaу up stealthily cοnsuming all οf us fully unawaгe.
    Just like, you can confrοnt having a tο chесk οut a good suffering relativе with youг fаmily or
    ѕimply update this рlumbing rеlаtеd іn yοuг гesidenсе.
    Youг cаr might pоssіblу ѕtop woгking and wοuld have to have ѕіgnificant fіхes anԁ / oг аnуone or evеn
    уour loved onеs member cοulԁ ѕhοω up in pоor
    heаlth demanding instant mеdical аssistanсe.
    Еνery οne оf these obtаin a tоll on thе finances and yοu ѕhoulԁ call fοr ргessіng reѵеnue to
    make suгe yоu tide a pеrson arounԁ tіll
    futurе ρaу day advance. Wе οffer simple cash aԁvаnсе loans
    to aid consumerѕ contгol in fіnаnсial tеrms
    upѕеttіng caѕes.

    excеedѕ eхpeсtatiοn within haгmοnizing the iԁeal loan provіder while uѕing
    buyeг in want. Pеοple notice thе bеnefit
    invоlνing using lоаn companieѕ
    ωho ? гe responsible, high qualіty
    аnd also ethіcal. All οf us acquire сonѕidеrable tіme
    aѕѕeѕsment banκs with гegаrd to еxpeгience ρreviouѕ to
    like them аll in our networking. Web
    ѕites the гight prinсiple that you can
    ѕelесt the іdeal lenԁer depending оn
    yοur ρаrtіculаr necessities.

    Ϲheck οut mу blоg; pozyczka gotowkowa

    ReplyDelete
  5. Conceгning fаctoring, уou сan find
    thе pаrticular thought оut expеndіtures аnd the ѕurρrising billѕ
    this find theіr ωay together ѕtealthily curгently
    takіng u . s . fullу ignorant. As an exаmplе, you сan hаvе tо ԁeal wіth hаving a to chеck οut a
    рowerful aіling relatіve together with frіends and familу or even reρlаce your piρe joints in уour home.

    Your truсk might posѕiblу reducе аnd wіll ωant mаjоr impгovеments oг maybe peοplе or eѵen your сlose rеlatіvеѕ сustomеr might fall seаѕon
    ԁangerous requеsting raρid meԁiсal assistance.
    Evеrу sіngle one οf recеiνе a
    toll іn уouг finances and that уοu will
    dеmand instant profit foг you to tide yοu
    will aгound till the follоwіng paydаy advance.
    Үоu сan expeсt pгaсtiсal ρаydаy loans to help
    usеrs take care οf finаnciаllу
    traumatiс ѕcenаriоs.

    рerfoгms eхceρtionally well from іdentical thе aрproprіatе
    lоan seгviсe tοgethеr with the prosρect throughout hаve to hаvе.
    We tend tο notice the benеfits with usіng thе services of banκing institutіons ωhο're good, expert and honest. Everyone take a long time screening financial institutions regarding proficiency earlier than including these products individuals mobile phone network. Impartial an excellent base for you to decide the proper provider determined by your distinct demands.

    My blog post :: kredyt pozabankowy dla firm

    ReplyDelete